Sejarah Desa

Sejarah Desa

 

Setelah Kerajaan Mataram mendapat laporan tentang kekacauan di daerah Kadipaten Pati dan sekitarnya, maka diutuslah Lurah Tamtama Kerajaan Mataram yang bernama Ki Tanujayan dan Ki Brojota’an bersama beberapa prajurit untuk menumpas perampok-perampok dan pengacau-pengacau di daerah tersebut. Sesampainya mereka, peperangan terjadi antara prajurit Mataram yang dipimpin Ki Tanujayan dan Ki Brojota’an dengan para pengacau. Prajurit Mataram dengan mudah dapat menumpas pengacau-pengacau tersebut.

Untuk mengantisipasi dan menjaga agar kerusuhan dan kekacauan tidak terulang lagi, maka Ki Tanujayan dan Ki Brojota’an memerintahkan kepada prajuritnya menumpang di sebuah padepokan terdekat, di sebuah rumah yang dihuni oleh seseorang yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Ki Datuk Singaraja. Daerah itu sekarang disebut Desa Singaraja.

Setelah sekian lama, kerusuhan dan kekacauan atau musuh tidak muncul lagi, Ki Tanujayan dan Ki Brojota’an serta prajurit-prajurit memutuskan mohon pamit dengan Ki Datuk Singaraja untuk melanjutkan perjalanan menuju ke arah selatan. (Kisah perjalanan Ki Tanujayan dan Ki Brojota’an kita kesampingkan dulu, mari kita melihat dari cerita lain asal usul Kota Mayong)

Pada cerita lain disebutkan, pada tahun 1549 Sunan Prawata raja keempat Demak kakak Ratu Kalinyamat mati dibunuh Arya Jipang, utusan Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus yang masih menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.

Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.

Menurut cerita. Selanjutnya dengan membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi lelah, kemudian melewati Pringtulis. Dan karena lelahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong), maka tempat itu sekarang dinamakan Mayong.

Kembali ke cerita Ki Tanujayan dan Ki Brojota’an, dalam perjalanan menuju ke selatan, kurang lebih menempuh jarak 3 kilometer, rombongan tiba di daerah rendah yang masih ditumbuhi pohon-pohon dan semak belukar di selatan Kota Mayong. Ki Brojota’an dan prajuritnya memutuskan babat alas di bagian utara (Lor), dan tinggal di daerah itu, yang sekarang tempat itu dikenal dengan nama Mayonglor atau Desa Mayonglor. Bekas tempat tinggal dan Makam Ki Brojota’an sekarang terletak di belakang SD N 3 Mayonglor.

Sementara itu Ki Tanujayan dan prajuritnya memutuskan babat alas di sebelah selatannya lagi (kidul). Karena kebesaran jiwa, kearifan, dan kebijaksanaan Ki Tanujayan, masyarakat di daerah baru itu bisa menerimanya. Masyarakat hidup dalam suasana rukun, damai, makmur gemah ripah loh jinawi.  Sebagai tanda daerah tersebut oleh Ki Tanujayan diberi nama Mayongkidul. Sampai sekarang dikenal dengan nama Desa Mayongkidul. Bekas tempat tinggal dan Makam Ki Tanujayan sekarang terletak di Dukuh Lorok tepatnya di RT 02 RW 03 Desa Mayongkidul. (Sumber : Mengenal Desaku Tahun 1988)